Oleh
Tazbhy
Friday, October 24, 2014
Bagikan :
PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.
Mengapa Menggunakan Learning Cycle?
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1 (Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1 (Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi
ketidakseimbangan
Pengenalan Konsep
Akomodasi
Akomodasi
Aplikasi Konsep
Organisasi
Organisasi
Gambar 1 Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Tabel 1 Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E
Fase Aktivitas Belajar/ Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas
Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. • Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.
Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.
Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.
1. Siklus 1
Skenario
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan pemakaian zat pewarna makanan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan
Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis
Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis
Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS 1 No. 1.1 sampai 1.4.
Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan
Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan (LKS 1 No. 1.5)
Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas
(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas
Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok
Diskusi Kelompok
Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas
Melakukan percobaan 1.5
Diskusi Kelompok
Diskusi Kelompok
Menyelesaikan soal tes secara individual
LKS 1
Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan yang telah disediakan!
1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik kesimpulan percobaan Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik kesimpulan percobaan Anda!
2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-macam pewarna makanan pada kulit).
Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B (pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).
Membimbing diskusi hasil percobaan.
Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta dampaknya bagi kesehatan.
Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok
(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok
Melaksanakan praktikum
Presentasi kelompok
Diskusi Kelas
Diskusi Kelas
Diskusi Kelas
Menyelesaikan soal tes
LKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario
TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan untuk makanan.
Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya (Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test (LKS 3).
Membimbing diskusi hasil percobaan.
Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:
(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas
Praktikum
Presentasi kelompok
Diskusi dan presentasi
Menyelesaikan soal tes
LKS 3
3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna
a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B
a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B
3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas
a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.
a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.
Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga University Press.
Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.
Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.
Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).
Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-58.
Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20/pembelajaran-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle/
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Media Pembelajaran
Tag :
Pendidikan
0 Komentar untuk "PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)"