Oleh
Tazbhy
Thursday, February 20, 2014
Bagikan :
Selama ini pendidikan nasional tidak menentu arah dan tujuannya. Padahal, dalam masyarakat dunia yang berubah cepat, tujuan pendidikan suatu bangsa haruslah jelas. Meskipun harus dinamis mengikuti perkembangan zaman, tujuan pendidikan nasional harus tetap bertolak pada kebudayaan Indonesia.
Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam Konvensi Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) bertema ”Pendidikan Indonesia dan Daya Saing Bangsa”, di Bentara Budaya Jakarta, dan dibuka pada Selasa (18/2).
Sejumlah pembicara yang hadir pada konvensi ini, antara lain, adalah mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri-Edi Swasono, Guru Besar Pendidikan (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar. Acara dibuka oleh Ketua Umum PGRI Sulistiyo.
Pakar pendidikan HAR Tilaar menegaskan, pendidikan di Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Padahal, Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan kehidupan bangsa.
Kuncinya pada guru
Tilaar mengatakan, kunci perubahan dalam pendidikan serta membangun sumber daya manusia berkualitas sepenuhnya ada di tangan guru.
”Karena perannya yang sangat penting, guru wajib dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan pendidikan. Sayangnya, selama ini guru atau organisasi guru tidak dilibatkan secara aktif oleh pemerintah,” kata Tilaar.
Untuk meningkatkan peran guru, Tilaar mengusulkan agar penanganan guru kembali disentralisasi. Sebab, dengan desentralisasi, guru seperti sekarang. Guru sering dijadikan komoditas politik oleh elite politik lokal. Guru sering dalam posisi terjepit karena dilibatkan dalam aktivitas politik.
Syawal menambahkan, kualitas mayoritas guru yang masih rendah bukan sepenuhnya salah guru. Ini disebabkan selama ini guru jarang mendapatkan pelatihan. Oleh karena itu, mulai tahun ini guru akan memperoleh pelatihan berkala secara spesifik pada kebutuhan materi-materi yang dirasa menjadi kekurangan setiap guru.
Jusuf Kalla pada kesempatan ini mengemukakan, pendidikan menjadi kunci untuk meningkatkan kemampuan bangsa melakukan sesuatu agar bisa bersaing dengan komunitas internasional. Kemampuan itu lebih dititikberatkan pada keterampilan dan penguasaan pada teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Ujian nasional
Untuk mengukur kemampuan bangsa, ujar Kalla, bisa dilakukan mulai dari membuat standar nilai kelulusan yang tinggi (dilihat dari hasil ujian nasional) bagi peserta didik. Jika sekarang standar kelulusan 5,5, bisa jadi tahun depan standar nilai dinaikkan menjadi 6,5.
”Harus dinaikkan secara bertahap. Anak-anak memang harus bekerja keras. Tidak ada bangsa yang bisa maju tanpa kerja keras. Tidak ada yang bisa maju tanpa belajar dan target yang jelas,” kata Kalla.
Bagi Kalla, pelaksanaan ujian nasional (UN) berlangsung sesuai harapan saat pertama kali dimulai tahun 2002. Ia berharap, masyarakat tidak terfokus pada hasilnya saja, tetapi lebih pada proses pembelajaran. Pasalnya yang paling penting harus diubah adalah suasana atau budaya belajar murid sehingga kualitas belajarnya meningkat.
”Yang harus diperbaiki bukan hanya sarana-prasarana atau fasilitas layanan pendidikannya, melainkan justru di budaya belajarnya. Kita tidak mempunyai budaya belajar,” tutur Kalla.
Karena itu, Kalla secara tegas menolak jika UN dihapuskan. ”Jika dihapuskan, bagaimana membuat standar pendidikan secara nasional?” ujarnya. Selain itu, adanya UN terbukti mendorong murid lebih giat belajar dan guru juga lebih peduli menyiapkan anak-anaknya untuk ikut UN.
”Ketika tidak ada ujian nasional, semua santai-santai saja karena murid pasti lulus ujian,” kata Kalla. ”Tidak apa-apa saya disalahkan karena saya berpikir untuk kemajuan bangsa ke depan,” tuturnya.
Meskipun demikian, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto berbeda pendapat. Menurut dia, UN bukanlah solusi atau cara meningkatkan kualitas dan kompetensi peserta didik. Sebab, sistem evaluasi belajar dengan UN justru menciptakan generasi yang hanya bisa menghafal dan tidak belajar untuk memahami sesuatu.
”UN justru akan mengurangi kreativitas belajar sampai menghilangkan semangat untuk menemukan hal-hal baru. Murid hanya belajar yang akan diujikan. Tidak akan belajar misalnya meneliti dan terbiasa membuat karya tulis,” kata Soedijarto.
Sinergitas
BJ Habibie yang tampil pertama dalam konvensi itu menyampaikan pentingnya sinergitas antara pendidikan dan penanaman nilai-nilai budaya kepada para siswa di sekolah, termasuk kecintaan pada bangsa dan Tanah Air.
Habibie mengharapkan proses pendidikan di sekolah tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Proses pendidikan di sekolah juga sepatutnya mampu memberikan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada para siswa. Guru-guru di sekolah diharapkan melakukan proses pembudayaan sebesar 10-20 persen dari keseluruhan waktu para siswa ketika berada di sekolah. Sekolah juga diharapkan mampu meneruskan berbagai nilai budaya yang sedari awal sudah dimulai dan dibentuk dari keluarga asal para siswa.
”Proses pendidikan dan proses pembudayaan harus berjalan dengan sinergi dan beriringan,” ujar Habibie.
Siswa yang memahami iptek serta tertanam nilai-nilai budaya bangsa di dalam dirinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka akan menjadi generasi muda yang unggul dari sisi iptek dan juga memiliki daya saing global tanpa kehilangan kecintaan serta semangat pengabdian pada bangsa dan Tanah Air.
sumber
Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam Konvensi Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) bertema ”Pendidikan Indonesia dan Daya Saing Bangsa”, di Bentara Budaya Jakarta, dan dibuka pada Selasa (18/2).
Sejumlah pembicara yang hadir pada konvensi ini, antara lain, adalah mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri-Edi Swasono, Guru Besar Pendidikan (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar. Acara dibuka oleh Ketua Umum PGRI Sulistiyo.
Pakar pendidikan HAR Tilaar menegaskan, pendidikan di Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Padahal, Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan kehidupan bangsa.
Kuncinya pada guru
Tilaar mengatakan, kunci perubahan dalam pendidikan serta membangun sumber daya manusia berkualitas sepenuhnya ada di tangan guru.
”Karena perannya yang sangat penting, guru wajib dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan pendidikan. Sayangnya, selama ini guru atau organisasi guru tidak dilibatkan secara aktif oleh pemerintah,” kata Tilaar.
Untuk meningkatkan peran guru, Tilaar mengusulkan agar penanganan guru kembali disentralisasi. Sebab, dengan desentralisasi, guru seperti sekarang. Guru sering dijadikan komoditas politik oleh elite politik lokal. Guru sering dalam posisi terjepit karena dilibatkan dalam aktivitas politik.
Syawal menambahkan, kualitas mayoritas guru yang masih rendah bukan sepenuhnya salah guru. Ini disebabkan selama ini guru jarang mendapatkan pelatihan. Oleh karena itu, mulai tahun ini guru akan memperoleh pelatihan berkala secara spesifik pada kebutuhan materi-materi yang dirasa menjadi kekurangan setiap guru.
Jusuf Kalla pada kesempatan ini mengemukakan, pendidikan menjadi kunci untuk meningkatkan kemampuan bangsa melakukan sesuatu agar bisa bersaing dengan komunitas internasional. Kemampuan itu lebih dititikberatkan pada keterampilan dan penguasaan pada teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Ujian nasional
Untuk mengukur kemampuan bangsa, ujar Kalla, bisa dilakukan mulai dari membuat standar nilai kelulusan yang tinggi (dilihat dari hasil ujian nasional) bagi peserta didik. Jika sekarang standar kelulusan 5,5, bisa jadi tahun depan standar nilai dinaikkan menjadi 6,5.
”Harus dinaikkan secara bertahap. Anak-anak memang harus bekerja keras. Tidak ada bangsa yang bisa maju tanpa kerja keras. Tidak ada yang bisa maju tanpa belajar dan target yang jelas,” kata Kalla.
Bagi Kalla, pelaksanaan ujian nasional (UN) berlangsung sesuai harapan saat pertama kali dimulai tahun 2002. Ia berharap, masyarakat tidak terfokus pada hasilnya saja, tetapi lebih pada proses pembelajaran. Pasalnya yang paling penting harus diubah adalah suasana atau budaya belajar murid sehingga kualitas belajarnya meningkat.
”Yang harus diperbaiki bukan hanya sarana-prasarana atau fasilitas layanan pendidikannya, melainkan justru di budaya belajarnya. Kita tidak mempunyai budaya belajar,” tutur Kalla.
Karena itu, Kalla secara tegas menolak jika UN dihapuskan. ”Jika dihapuskan, bagaimana membuat standar pendidikan secara nasional?” ujarnya. Selain itu, adanya UN terbukti mendorong murid lebih giat belajar dan guru juga lebih peduli menyiapkan anak-anaknya untuk ikut UN.
”Ketika tidak ada ujian nasional, semua santai-santai saja karena murid pasti lulus ujian,” kata Kalla. ”Tidak apa-apa saya disalahkan karena saya berpikir untuk kemajuan bangsa ke depan,” tuturnya.
Meskipun demikian, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto berbeda pendapat. Menurut dia, UN bukanlah solusi atau cara meningkatkan kualitas dan kompetensi peserta didik. Sebab, sistem evaluasi belajar dengan UN justru menciptakan generasi yang hanya bisa menghafal dan tidak belajar untuk memahami sesuatu.
”UN justru akan mengurangi kreativitas belajar sampai menghilangkan semangat untuk menemukan hal-hal baru. Murid hanya belajar yang akan diujikan. Tidak akan belajar misalnya meneliti dan terbiasa membuat karya tulis,” kata Soedijarto.
Sinergitas
BJ Habibie yang tampil pertama dalam konvensi itu menyampaikan pentingnya sinergitas antara pendidikan dan penanaman nilai-nilai budaya kepada para siswa di sekolah, termasuk kecintaan pada bangsa dan Tanah Air.
Habibie mengharapkan proses pendidikan di sekolah tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Proses pendidikan di sekolah juga sepatutnya mampu memberikan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada para siswa. Guru-guru di sekolah diharapkan melakukan proses pembudayaan sebesar 10-20 persen dari keseluruhan waktu para siswa ketika berada di sekolah. Sekolah juga diharapkan mampu meneruskan berbagai nilai budaya yang sedari awal sudah dimulai dan dibentuk dari keluarga asal para siswa.
”Proses pendidikan dan proses pembudayaan harus berjalan dengan sinergi dan beriringan,” ujar Habibie.
Siswa yang memahami iptek serta tertanam nilai-nilai budaya bangsa di dalam dirinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka akan menjadi generasi muda yang unggul dari sisi iptek dan juga memiliki daya saing global tanpa kehilangan kecintaan serta semangat pengabdian pada bangsa dan Tanah Air.
sumber
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Media Pembelajaran
Tag :
Berita,
Pendidikan
1 Komentar untuk "Pendidikan Nasional Tak Tentu Arah. Mengapa Demikian?"
@handri setiawanmakasih gan
amin