Oleh
Tazbhy
Thursday, January 2, 2014
Bagikan :
A. PENDAHULUAN
Karakter
manusia telah melekat pada kepribadian seseorang dan ditunjukkan dalam perilaku kehidupannya
sehari-hari. Sejak lahir, manusia telah memiliki
potensi karakter yang ditunjukkan oleh kemampuan kognitif dan sifat-sifat bawaannya. Karakter bawaan akan berkembang jika
mendapat sentuhan pengalaman belajar dari
lingkungannya. Keluarga merupakan lingkungan
belajar pertama yang diperoleh anak dan akan menjadi fondasi yang kuat untuk membentuk karakter setelah dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas
kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia
delapan tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua (Suyanto, 2010). Perkembangan kecerdasan diiringi
oleh perkembangan mental kepribadian lainnya sampai usia remaja.
Setelah dewasa,kecerdasan maupun perilaku kepribadian sudah relatif stabil,
oleh sebab itu jika ingin membentuk kecerdasan dan karakter,
waktu yang paling tepat adalah pada saat usia anak-anak sampai dengan
remaja.
Pendidikan
karakter telah lama menjadi perhatian pemerintah. Dalam Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1
(satu) antara lain disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan,akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain di dalam Undang-undang,
karakter positif juga banyak ditulis dalam visi dan misi lembaga
pendidikan.
Pada umumnya,
lembaga pendidikan menyusun visi yang tidak hanya
bermuatan untuk menjadikan lulusannya cerdas tetapi juga berakhlak
mulia. Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang telah
dilakukan oleh lembaga pendidikan formal dalam membentuk karakter bangsa, maka perlu dikaji secara lebih mendalam berbagai
hasil penelitian pendidikan karakter dengan menggunakan
metode meta analisis ini.
Pendidikan
karakter menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pendidik, baik
di rumah maupun di sekolah. Pendidikan karakter harus dimulai dari pendidik itu sendiri. Namun demikian, pada saat ini banyak
ditemukan karakter negatif yang justru berasal dari
pendidik itu sendiri. Meski tidak berbasis data
penelitian yang akurat, namun pernah ditemuka kasus/kejadian yang mencoreng nama pendidik seperti: (1) pendidik tidak jujur
dala membuat karya ilmiah; (2) pendidik yang sedang studi lanjut tidak
jujur dalam mengerjakan soal ujian dengan cara menyalin
jawaban temannya; (3) pendidik membantu siswa supaya lulus ujian nasional;
(4) pendidik kurang disiplin; (5) pendidik
berbuat curang dalam menyiapkan berkas kenaikan pangkat dan penilaian portofolio, dll.
Jika kalangan
pendidik saja sudah menunjukkan banyak karakter negatif
terus
bagaimana dengan karakter peserta didiknya kelak? Fenomena karakter negatif remaja yang sering menjadi sumber berita di media masa
antara lain adalah tindak kekerasan, tawuran, kenakalan,
nyontek pada saat ujian dsb. Mazzola (2003) melakukan survei tentang
bullying (tindak kekerasan) di sekolah. Hasil
survei memperoleh temuan sebagai berikut: (1) setiap hari sekitar 160.000 siswa mendapatkan tindakan bullying di
sekolah, 1 dari 3 usia responden yang diteliti (siswa pada usia 18
tahun) pernah mendapat tindakan kekerasan, 75-80% siswa pernah mengamati
tindak kekerasan, 15-35% siswa adalah korban kekerasan dari tindak kekerasan
maya (cyber-bullying).
Karakter negatif pada
orang dewasa sering dilakukan secara tersembunyi sehingga hanya
kalangan tertentu saja yang mengetahuinya. Dengan kemutakhiran
teknologi informasi dan komputer sekarang ini, banyak terjadi karakter negatif di kalangan mahasiswa, antara lain: (1) menulis
tugas makalah hanya mengunduh dari internet; (2)
mereplikasi skripsi hasil karya orang lain; (3) menjawab
soal ujian dengan bantuan HP yang dapat tersambung dengan internet. Jika karakter negatif ini dibiarkan, mahasiswa
dikhawatirkan akan menurun kreativitasnya. Mahasiswa yang
seperti ini akan menjadi pemalas, suka menempuh
jalan pintas, tidak suka tantangan dan senang mencari sesuatu yang instan.
Padahal di sisi lain, mahasiswa dituntut memiliki pribadi yang tangguh karena persaingan kerja semakin ketat.
Pembinaan
karakter harus terus menerus dilakukan secara holistik dari semua lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Menurut Miftahudin (2010) pendidikan karakter
pada usia dini di keluarga bertujuan untuk pembentukan, pada usia remaja
di sekolah bertujuan untuk pengembangan sedangkan pada usia dewasa di
bangku kuliah bertujua untuk
pemantapan.
Tugas-tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan belajar yang baik untuk membentuk, mengembangkan dan memantapkan karakter peserta didiknya.
Pendidikan
karakter dilakukan dengan pembiasaan untuk berperilaku positif dan
menjauhi perilaku negatif. The Character Education Partnership mempromosikan nilai-nilai kode etik berdasarkan karakter positif;
(2) mendefinisikan karakter secara komprehensip untuk berpikir,
berperasaan dan berperilaku; (3) menggunakan pendekatan yang
efektif, komprehensif, intensif dan proaktif; (4) menciptakan komunitas
sekolah yang penuh kepedulian; (5) menyediakan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan dan mengembangkan tindakan bermoral; (6) menyusun kurikulum yang menantang dan
bermakna untuk membantu agar semua siswa dapat
mencapai kesuksesan; (7) membangkitkan motivasi instrinsik siswa untuk
belajar dan menjadi orang yang baik di lingkungannya; (8) menganjurkan
semua guru sebagai komunitas yang profesional dan bermoral dalam proses
pembelajaran; (9) merangsang tumbuhnya kepemimpinan yang transformasional
untuk mengembangkan pendidikan karakter sepanjang hayat; (10)
melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam pendidikan
karakter; (11) mengevaluasi karakter warga sekolah untuk memperoleh
informasi dan merangcang usaha- usaha pendidikan karakter selanjutnya
(Lickona, Schaps, & Lewis: 2003).
Penerapan 11
prinsip pendidikan karakter menjadi bagian dari program
sekolah,
bukan menjadi tanggung jawab salah satu mata pelajaran, satu guru
atau
satu kegiatan saja. Pelaksanaan pendidikan karakter diintegrasikan melalui peraturan dan tata tertib sekolah, proses belajar mengajar di
kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. Pendidik wajib memberi
teladan perilaku/karakter yang baik pada peserta
didiknya. The Character Education, Guidance, Lifeskills dari (www.livewiremedia.com)
mengidentifikasi manusia yang berkarakter baik.
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal sering menjadi panutan dalam berbagai
hal termasuk panutan dalam mendidik karakter. Pendidikan karakter di sekolah disesuaikan dengan tingkat usia perkembangan
mental peserta didik. Suyanto (2010) maupun
Miftahudin (2010) sependapat bahwa pembentukan dan
pengembangan karakter sudah terjadi sampai anak berusia remaja. Setelah
dewasa, karakter yang dimiliki manusia relatif stabil dan permanen. Oleh sebab itu, model pendidikan karakter pada usia
anak-anak, remaja dan dewasa tidak dapat disamakan.
Satu model
pendidikan karakter yang efektif diterapkan di SD, belum tentu
efektif untuk usia remaja dan dewasa. Penelitian ini bertujuan
menganalisis model-model pendidikan karakter yang
efektif pada usia anak-anak, remaja dan dewasa yang telah dilaksanakan di SD, SMP dan SMA melalui kajian hasil-hasil
penelitian dan program sekolah yang relevan. Kajian ini
diharapkan dapat memberi manfaat untuk
mengembangkan model pendidikan karakter baru yang layak dilaksanakan
untuk khalayak sasaran yang berbeda.
B.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
termasuk jenis penelitian meta-analisis yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara merangkum, mereview dan menganalisis
data penelitian dari beberapa hasil penelitian sebelumnya (Neill,
2006). Dengan menggunakan meta-analisis, beragam pertanyaan
dapat ditelusur sepanjang pertanyaan tersebut logis dan tersedia data
untuk menjawabnya. Penelitian diawali dengan merumuskan masalah
dan tujuan penelitian kemudian dilanjutkan dengan menelusuri
hasil-hasil penelitian terbaru yang relevan.
Data penelitian
telah diperoleh dari peneliti sebelumnya, peneliti kemudian
menganalisis dan melaporkannya kembali dalam bentuk penelitian baru. Dengan demikian, laporan penelitian ini bukan duplikasi dari
penelitian yang sudah pernah dilakukan. Data penelitian
pada meta-analisis adalah berupa data sekunder
yang diambil dengan metode dokumentasi. Hasil-hasil penelitian yang diikutkan dalam analisis meta ini antara lain adalah:
1. Pengembangan model pendidikan karakter terintegrasi dalam
pembelajaran bidang studi di SD Darmiyati Zuchdi, Zuhdan
Kun Prasetya, dan Muhsinatun Siasah Masruri dari Universitas
Negeri Yogyakarta
2. Pengembangan Model
Pembelajaran Nilai dan Karakter untuk Sekolah Dasar Berbasis
Model Pendidikan Nilai dan Karakter di Pesantren Daarut- Tauhied Bandung oleh Sa’dun Akbar
3. Model integrasi tindak tutur direktif dalam penerapan
pendidikan ahlaq mulia dan karakter bangsa bagi pelajar di SMA
oleh Mulyani, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo, Jawa Timur
4. Model pembelajaran nilai kejujuran melalui budaya malu pada
anak usia SD oleh Tri Rejeki Andayani, Prodi Psikologi, FK
UNS, dll
Data pada
laporan penelitian yang diacu masih sangat luas dan banyak. Dalam laporan ini, data diolah kembali dengan cara merangkum dan
mengambil intisari hasil penelitian saja. Selanjutnya,
data dilaporkan kembali secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Model Pendidikan Karakter pada Usia Anak-anak (SD)
Data
model pendidikan karakter pada usia anak-anak (Sekolah Dasar) diperoleh dari enam judul penelitian. Penelitian pengembangan
model pendidikan karakter pernah dilakukan oleh Umi
Faizah, Zidniyati, Anasufi Banawi dan Baharudin yang terangkum dalam
hasil penelitian hibah diintegrasikan pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia melalui media cerita bergambar dan metode bermain peran.
Pendidikan karakter juga telah diintegrasikan pada pembelajaran IPA dan IPS
melalui model pembelajaran IPA berbasis karakter dan pendekatan ARCS (attention,
relevance, confidence, dan satisfaction) yang
dilakukan oleh Banawi dan Baharudin. Hasil penelitian
menunjukan bahwa penggunaan cerita bergambar dan metode bermain
peran efektif untuk meningkatkan pengamalan nilai kejujuran,
kesabaran, dan ketaatan beribadah, serta keterampila berbahasa Indonesia (menyimak, membaca dan berbicara). Model pembelajaran
IPA berbasis karakter dan pendekatan ARCS (attention, relevance,
confidence, dan satisfaction) terbukti efektif untuk
meningkatkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab,
dan ketaatan beribadah, serta hasil belajar IPA/IPS.
Selanjutknya pendidikan karakter yang efektif adalah model yang menggunakan pendekatan komprehensif. Pendidikan karakter diintegrasikan ke
dalam berbagai bidang studi. Metode dan strategi
yang digunakan bervariasi yang sedapat mungkin mencakup inkulkasi/penanaman
(lawan indoktrinasi), keteladanan, fasilitasi nilai, dan
pengembangan soft skills (antara lain berpikir
kritis, kreatif, berkomunikasi efektif, dan dapat mengatasi masalah). Semua warga sekolah (pimpinan sekolah, guru, siswa, pegawai
administrasi, bahkan penjaga sekolah serta pengelola warung
sekolah) dan orang tua murid serta pemuka masyarakat perlu bekerja
secara kolaboratif dalam melaksanakan pendidikan karakte baik di dalam kelas maupun di luar kelas dalam berbagai kegiatan, termasuk kegiatan di rumah dan di dalam
lingkungan masyarakat dengan melibatkan partisipasi
orang tua. Sa’dun Akbar (2008) meneliti tentang
internalisasi nilai dan karakter peserta didik
Daarut-Tauhied Bandung, Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
pendidikan dilaksanakan dengan menyeimbangkan antara aspek pikir dan dzikir (hati) dengan menggunakan metode: learning by
doing, simulasi, aksi sosial, khidmad dan ikhtiar,
sosiaodrama, studi lapangan, hikmah, dan evaluasi reflektif yang
mementingkan kesadaran diri. Nilai-nilai dan karakter terinternalisasi secara
efektif yang ditunjukkan dengan ciri-ciri santri dan alumni: suka membantu
orang lain, disiplin, kerja keras, optimis,
percaya diri, bersih, santun dan murah senyum, berpikir positif, mandiri, sangat menghargai orang lain, kreatif inovatif, patut
diteladani, dan Islami.
Sejak karakter
dimunculkan kembali menjadi landasan utama pendidikan,
model pendidikan pesantren menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini disebabkan karena pola pendidikan di pesantren dipandang telah mampu membentuk manusia yang berkarakter lebih positif disbanding sekolah biasa. Selain model pendidikan pesantren Daarut-Tauhie Bandung, berikut ini juga dikaji model pendidikan
karakter di pesantren Gontor. Menurut Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
M.A (2010), pondok pesantren Gontor telah menerapkan pendidikan karakter
melalui:
a) Memberi keteladanan (uswah hasanah) dalam hal
nilai-nilai keikhlasan, perjuangan, pengorbanan, kesungguhan,
kesederhanaan, dan tanggung jawab;
b) mengkondisikan hidup di lingkungan berasrama sehingga proses pembelajaran berlangsung terus menerus di bawah pengontrolan guru
c)
memberi pengarahan nilai dan filosofi hidup,
d) menugaskan supaya dapat hidup mandiri dengan cara mengurus
dirinya sendiri, mengelola usaha, memimpin organisasi
dan bermasyarakat.
e) membiasakan hidup disiplin, taat beribadah dan taat terhadap
peraturan pondok
Agama telah mengatur
perilaku manusia dengan imbalan pahala dan dosa. Pahala
diberikan pada manusia yang menjalankan perintah agama, dan dosa diberikan pada manusia yang banyak melanggar perintah agama. Dengan ajaran ini, manusia berusaha untuk menjalankan perintah
agama supaya banyak mendapat pahala. Pendidikan
karakter di pondok pesantren dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai agama
Islam. Tri Rejeki Andayani (2010) melakukan
penelitian yang berjudul: “Model pembelajaran nilai kejujuran melalui
budaya malu pada anak usia sekolah dasar”. Dalam penelitian tersebut ada
10 alternatif aktivitas model yang terdiri dari: (1) kantin kejujuran; (2)
aktivitas seni; (3) kelihatan dan tidak
kelihatan; (4) sang pembohong; (5) nilai positif, (6) buah ketidakjujuran, (7) raja dan benih bunga, (8) self talk,
(9) ular tangga kejujuran, dan (10) raih kepercayaan.
Aktivitas
tersebut disampaikan melalui teknik bercerita dan bermain peran,
ekspresi seni, permainan dan refleksi diri atau bercerita tentang dirinya
sendiri. Guru, siswa maupun orangtua siswa lebih banyak memilih model
pendidikan karakter melalui kantin kejujuran, bercerita dan bermain
peran. Yulian Elementary School di San Diego
menerapkan motto: “Kita dapat mengubah dunia dengan dua tangan kita”.
Mereka memasukkan budaya pelayanan dan hormat menghormati
(sopan santun) menjadi budaya sekolah. Hasil survei menunjukkan bahwa 100%
orangtua siswa mengatakan bahwa sekolah telah menghasilkan
iklim positif untuk belajar. Setahun kemudian, sekolah mampu memperoleh
indeks prestasi yang paling tinggi sepanjang sejarah yang pernah dialami
sekolah itu. Sekolah telah mampu menghapus 45 masalah yang bersumber
dari hambatan social ekonomi siswa dan 74 masalah yang berhubungan
dengan kesulitan belajar. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, sekolah
telah menerapkan tindakan disiplin sehingga dapat menurunkan kenakalan
dan tindak kekerasan sebanyak 71% (Mazzola, 2003).
2.
Model Pendidikan Karakter pada Usia Remaja (SMP dan SMA)
Model
pendidikan karakter pada usia remaja dikaji dari dua buah judul penelitian. Mulyani (2010) telah mengembangkan model integrasi
tindak tutur direktif dalam penerapan pendidikan
ahlaq mulia dan karakter bangsa bagi pelajar di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo,
Jawa Timur. Pada tahap studi pendahuluan teridentifikasi nilai-nilai
ahlaq mulia dan karakter pelajar Muhammadiyah 1
Ponorogo yang harus dikembangkan antara lain: jujur, disiplin,
santun, rendah hati, percaya diri, mandiri, dan bertanggungjawab serta memiliki kemampuan kognitif yang memadai. Model tindak tutur direktif kepala sekolah, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
kepada peserta didik dapat diklasifikasi menjadi
tiga kategori yaitu perintah, permintaan dan saran. Model perintah (command)
diaktualisasikan dalam tindakan: melarang, memperingatkan,
memerintah, menegur, mendesak dan mengharuskan model dalam tindakan:
memohon, mengharap, meminta, menghimbau, dan mengajak.
Model saran (suggest)
dilakukan dalam kegiatan menasehati, menganjurkan, menawarkan,
mendorong, mempersilahkan, dan menyarankan. Model perintah (command)
diintegrasikan dengan model bermain peran, simulasi dan diskusi
kelompok. Permintaan (request) diintegrasikan dalam tindakan keteladanan, simulasi dan bermain peran. Model saran (suggest) diintegrasikan dalam kegiatan bakti sosial, kunjungan lapangan dan
problem solving. Seckman High
School telah menerapkan pendidikan karakter melalui penekanan prinsip untuk bekerja secara kelompok/tim, berempati dan melayani. Untuk mendampingi prinsip tersebut, sekolah memasang spanduk/poster yang bermuatan karakter tersebut. Setelah lima
tahun berlalu, sekolah mengalami hal-hal positif
antara lain, suspensi menurun 98% di luar sekolah dan 30% di dalam sekolah,
perkelahian menurun 65% dan kejadian yang berhubungan dengan obat
menurun 74%. Waterlo middle school di New York
mengalami masalah dengan disiplin dan akademik.
Seorang guru
menyatakan: gunakan rasa kekeluargaan dan bangun budaya peduli,
tekankan rasa hormat menghormati dan menerima. Siswa kemudian membuat ikrar, tidak akan menggunakan tangan dan kata-kata untuk menyakiti diri mereka sendiri dan orang lain. Dua tahun kemudian, perkelahian menurun 71%, skor matematika meningkat 49% dan dampak pengiringnya meningkat 97% (Mazzola, 2003).
Kajian
hasil-hasil penelitian pendidikan karakter pada usia anak-anak dan remaja yang telah dipaparkan menuai kesimpulan bahwa model pendidikan karater pada usia anak-anak diberikan untu pembentukankarakter. Proses pembentukan dimulai dari pengenalan
perilaku baik dan buruk dan pembiasaan perilaku baik dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Piaget, manusia sejak dilahirkan mengalami
tahap perkembangan kognitif dan mental. Perkembangan mental yang terjadi
sampai anak memasuki usia remaja adalah sebagai berikut:
Permintaan (request)
a) Perkembangan nilai dan sikap pada anak usia
<5 tahun sangat dipengaruhi oleh situasi yang berlaku dalam
keluarga. Nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarga akan diadopsi oleh
peserta didik melalui proses imitasi dan identifikasi.
b) Perkembanagan moral anak usia 6 – 12 tahun sudah mulai beralih
pada tingkatan moralitas yang fleksibel, anak sudah mulai memilih
kaidah moral menggunakan penalarannya sendiri.
Perkembangan moral peserta didk sangat dipengaruhi oleh kematangan
intelektual dan interaksi dengan lingkungannya. Dorongan untuk keluar
dari lingkungan rumah dan masuk ke dalam kelompok sebaya mulai
nampak dan semakin berkembang. Dorongan untuk memasuki permainan
fisik yang membutuhkan kekuatan ototpun semakin kuat.
c) Remaja usia 13-15 memiliki rasa ingin tahu yang kuat, senang
bertanya, memiliki imajinasi tinggi, minat yang luas,
tidak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir,
senang akan hal-hal baru, dsb (Direktorat SMP, Depdiknas: 2004)
Pada usia pra sekolah, pendidikan karakter efektif dilakukan oleh keluarga. Oleh sebab itu, penting sekali bagi keluarga baru yang
memiliki anak usia di bawah lima tahun untuk memberi
lingkungan belajar yang terbaik di rumah. Orang tua harus meluangkan
waktunya untuk mendidik anak-anak. Ibu yang bekerja di luar rumah
tidak disaranka mempercayakan sepenuhnya
pendidikan anak-anak usia dini kepada pembantu di rumah. Anak usia sekolah (6-12 tahun) sudah mulai memasuki lingkungan di
luar rumahnya. Anak akan lebih percaya dengan perkataan gurunya
daripada orangtuanya sendiri. Pendidikan karakter anak
usia sekolah dasar sangat efektif dilakukan di sekolah. Lingkungan sekolah
(guru dan siswa) memilik peran yang kuat dalam membentuk karakter
anak.
Remaja masih berada dalam
tahap pertumbuhan dan perkembangan. Remaja memiliki
kepribadian yang masih labil dan sedang mencari jatidiri untuk membentuk karakter permanen. Pendidikan pada usia remaja
menjadi momen yang penting dan menentukan karakter
seseorang setelah dewasa. Lingkungan pergaulan di sekolah maupun di
rumah mempunyai peluang yang sama kuatnya dalam pengembangan
karakter. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dan
komunikasi yang baik antara sekolah dan keluarga dalam mengembangkan
karakter anak remaja.
Tugas-tugas
pendidik pada usia remaja lebih kompleks daripada tugas-tugas
pada usia anak-anak. Sesuai dengan karakteristik mental usia remaja yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, tugas pendidik
adalah menciptakan lingkungan yang sebaik-baiknya
dengan memberikan banyak aktivitas positif supaya remaja tidak
terjerumus pada kegiatan negatif yang merugikan masa
depannya. Pendidikan karakter pada remaja dilakukan untuk pengendalian
diri supaya remaja tidak terjerumus ke dalam karakter negatif. Supaya
karakter positif dapat diinternalisasi menjadi karakter yang permanen, sekolah bertugas menyediakan banyak pilihan yang
mendukung berkembangnya karakter positif tersebut dan
menekan peluang munculnya karakter negatif. Model pendidikan karakter
pada usia remaja dilakukan untuk menanamkan kedisiplinan, kejujuran,
rasa hormat menghormati dan saling tolong menolong dalam semua kegiatan.
3.
Model Pendidikan Karakter Usia Dewasa (Perguruan Tinggi)
Model pendidikan karakter
pada jenjang usia dewasa diperoleh dari hasil
penelitian Syukri Fahtudin (2010) yang berjudul: “Pembentukan kultur akhlak mulia melalui pembelajaran pendidikan agama Islam dengan
model penilaian self and peer assesment di
kalangan mahasiswa Fakultas Teknik UNY”.
Penelitian dilaksanakan dengan metode kuasi eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara kelompok eksperimen yang menggunakan model penilaian self and peer
assessment dengan kelompok kontrol yang menggunakan
penilaian paper and pencil test dalam ketaatan
beribadah harian sesuai dengan tuntunan agam Islam.
Dalam laporan penelitian
disarankan untuk membentuk kultur ahlak mulia mahasiswa pembiasaan pembiasaan.
Karakter pada orang dewasa seperti mahasiswa memang sudah memfosil atau sulit diubah melalui strategi pembelajaran biasa.
Namun demikian, dosen tetap memiliki kewajiban
untuk mengingatkan, menyuruh dan menyarankan mahasiswa supaya tidak
melakukan tindakan negatif. Diperlukan waktu efektif Pemantapan
karakter sebagian juga menjadi tanggung jawab dosen Penasehat
Akademik Karakter pada orang dewasa sudah terbentuk
sejak anak-anak dan remaja.
Pendidikan
karakter melalui model-model pembelajaran belum tentu efektif
dilaksanakan. Pendidikan karakter orang dewasa yang sesuai adalah melalui peningkatan kesadaran untuk berperilaku positif dan
evaluasi diri (self evaluation). Pendidikan
karakter lebih efektif jika muncul dari kesadaran
dirinya sendiri, bukan pengaruh dari orang lain. Bentuk-bentuk pendidikan karakter antara lain dilakukan melalui: ceramah dan
pengajian, pengangkatan tema pendidikan karakter dalam
forum seminar, diskusi, media masa, film, penulisan karya ilmiah yang
bertema pendidikan karakter, belajar dari pengalaman hidup orang lain,
dsb. Banyak pengalaman orang-orang yang berkarakter negatif dapat berubah
menjadi positif setelah mereka dihadapkan pada permasalahan hidup dan
belajar dari kehidupan orang lain yang sedang
mengalami masalah.
Pendidikan karakter perlu
memperhatikan tahap-tahap belajar pada ranah afektif. Bloom
(1964) membuat lima tahap belajar ranah afektif yaitu penerimaan,
pemberian tanggapan, penghargaan, pengorganisasian dan internalisasi.
Pada usia anak-anak, belajar afektif dapat dilakukan sampai tahap ke tiga yaitu tahap penghargaan. Pada usia remaja, belajar afektif
dapat maju satu tahap lagi yaitu ke ranah
pengorganisasian. Sedangkan pada usia dewasa, belajar afektif
sampai pada tahap internalisasi. Proses belajar ranah afektif yang dapat membentuk karakter kepribadian dapat terjadi melalui
mekanisme sebagai berikut:
a) Penerimaan (receiving
phenomena), pada saat ini, anak-anak baru pertama kali menerima
pesan/nasihat tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam perilaku
manusia. Anak-anak akan berhasil menjadi manusia yang berkarakter
positif jika dia mau mendengarkan pesan/nasihat tentang nilai-nilai dalam
perilaku yang terkandung di dalamnya.
b) Pemberian respon/menanggapi (responding). Setelah anak
mendengar pesan/nasihat tentang nilai-nilai baik dan
buruk, kemudian member respon. Anak yang berpotensi memiliki
karakter positif akan mematuhi nilai-nilai yang baik seperti apa yang telah
diterima pada tahap sebelumnya.
c) Penghargaan (valuing), setelah anak mematuhi nilai-nilai
positif dalam perilakunya, anak sudah mulai menerapkan
nilai-nilai baik tersebut dalam kehidupan sehari-harinya meskipun sudah tidak
ada pihak lain yang menyuruhnya.
d) Pengorganisasian (organization)
terjadi jika anak sudah terbiasa menerapkan
nilai-nilai positif, maka dia akan dapat memutuskan untuk memilih nilai yang baik-baik saja jika suatu saat dihadapkan pada beberapa pilihan nilai yang berbeda-beda.
e) Internalisasi nilai (internalizing value) yaitu terjadi
ketika nilai-nilai telah menjadi filsafat hidup sehingga orang tidak
akan terpengaruh oleh factor luar. Perilaku positif/negatif sudah merasuk
ke dalam diri, konsisten, dan dapat diprediksi sehingga sulit untuk diubah.
Model-model
pendidikan karakter menurut jenjang usia yang dikaji dari berbagai hasil penelitian dapat dirumuskan kembali dalam berbagai
macam tindakan pendidikan karakter. Beberapa contoh
strategi yang dapat dilakukanuntuk mendidik karakter dapat disimak pada tabel
di bawah ini:
Strategi Pendidikan Karakter menurut Jenjang Usia
|
Contoh strategi
pendidikan karakter yang tercantum pada tabel di atas masih sangat
sederhana. Contoh tersebut dapat dikembangkan oleh pendidik menjadi sebuah model pendidikan karakter. Dalam sebuah model ada kemungkinan terdapat pendekatan, metode, teknik atau taktik
sekaligus Model
pendidikan
karakter dapat menjadi pedoman bagi guru/pendidik lain dalam menerapkan pendidikan karakter. Apapun model pendidikan karakter
yang akan diterapkan, perilaku yang paling penting dimiliki oleh semua
pendidik adalah memberi keteladanan di rumah maupun di
sekolah. Jika ingin peserta didik disiplin maka pendidik juga harus
melaksanakan tindakan disiplin. Jika ingin peserta
didik melakukan perbuatan jujur, tidak nyontek pada saat ujian maka pendidik juga harus memberi contoh dengan tidak melakukan
perbuatan
|
D.
KESIMPULAN
Model-model
pendidikan karakter telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil analisis meta menunjukkan bahwa model pendidikan karakter
disesuaikan dengan jenjang usia yaitu pada usia anak-anak
bertujuan untuk pembentukan, pada usia remaja bertujuan untuk pengembangan
sedangkan pada usia dewasa bertujuan untuk pemantapan. Sesuai dengan
tingkat perkembangan psikologi maka model pendidikan karakter pada usia
anak-anak, remaja dan dewasa
adalah
sebagai berikut:
1. Model
pendidikan pada anak-anak bertujuan untuk membentuk karakter. Anak-anak masih dalam masa bermain, oleh sebab itu model
pendidikan karakter yang efektif disampaikan melalui
kegiatan bermain peran, bercerita, kantin kejujuran dan lainnya.
2.
Model pendidikan karakter pada remaja bertujuan untu mengembangkan
karakter
kepribadian. Pendidikan karakter dilakukan dengan tindak tutur direktif (nasehat, perintah, anjuran, dsb). Model pendidikan
karakter pada remaja diintegrasikan dalam berbagai kegiatan
pembelajaran, peraturan sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler atau
media poster yang ditempel di dinding-dinding sekolah
3.
Model pendidikan karakter pada orang dewasa bertujuan untu pemantapan karakter yang sudah terbentuk. Model
pendidikan karakter dilakukan melalui pengajian, seminar, penulisan karya
ilmiah dan evaluasi diri.
E. DAFTAR PUSTAKA
Anonim:
(2010) Resources for Character Education, Guidance, Lifeskills. diunduh tanggal 1 Februari 2013 dari
www.livewiremedia.com,
Abdullah
Syukri Zakasyi. (2010). Pola pendidikan pesantren dalam pembentukan
karakter bangsa. Makalah disajikan dalam seminar: Pendidikan Karakter
Bangsa melalui Pola Pendidikan Pesantren. Balitbang, Kemendiknas,
10-12 Desember 2010, di Hotel Salak, Bogor. Bloom,
Krathwohl & Marsia (1964). Taxonomy of educational objectives.
NewYork: Longman Darmiyati, Zuhdan dan Muhsinatun. (2010).
Pengembangan
model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran
bidang studi di Sekolah Dasar. e-jurnal Cakrawala Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
(2004). Pedoman diagnostik potensi peserta didik. Jakarta:
Depdiknas Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C.
(2003). CEP’s Eleven principles of effective character
education. Washington, DC: Character Education Partnership. Mazzola, J. W. (2003). Bullying in school: a strategic solution.
Washington, DC: Character Education Partnership Miftahudin. (2010). Implementasi pendidikan karakter di SMK
Roudlotul Mubtadiin. Makalah disampaikan dalam
seminar nasional: Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di
Tingkat Satuan Pendidikan, Balitbang Kemendiknas, Tanggal 28-29 Agustus
2010. Mulyani. (2010). Model integrasi tindak tutur
direktif dalam penerapan pendidikan ahlaq mulia dan karakter bangsa
bagi pelajar di SMA Jurnal Penelitian
Inovasi dan Perekayasa Pendidikan, no.2 tahun ke 1, Agustus 2010. Halaman 225-248. Puslitjaknov, Balitbang Kemendiknas Ratna Megawangi. (2010) Strategi dan implementasi pendidikan
karakter di PAUD. Makalah disampaikan dalam
seminar nasional: Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di
Tingkat Satuan Pendidikan, Balitbang Kemendiknas, Tanggal 28-29 Agustus
2010. Sa’adun Akbar. (2009). Pengembangan model
pembelajaran nilai dan karakt untuk Sekolah
Dasar berbasis model pendidikan nilai dan karakter di pesantren
Daarut-Tauhied Bandung. e-jurnal Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang. diunduh tanggal 11 Desember 2010 Suyanto. (2010). Urgensi Pendidikan Karakter.
diunduh tanggal 1 Maret 2010 dari
www.kemendiknas.go.id Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dengan Model Penilaian Self-And Peer Assesment pada Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik UNY. Laporan Penelitian FT UNY Tri Rejeki, A. (2010). Model pembelajaran
nilai kejujuran melalui budaya malu pada anak usia
SD. Jurnal Penelitian Inovasi dan Perekayasa Pendidikan, no.2 tahun ke 1, Agustus 2010. Halaman 297-322. Puslitjaknov,
Balitbang Kemendiknas
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Media Pembelajaran
Tag :
Jurnal
0 Komentar untuk "ANALISIS MODEL-MODEL PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK USIA ANAK-ANAK, REMAJA DAN DEWASA"